2025-05-01 | admin3

Politik Hukum 2025: Kontestasi Revisi UU Kontroversial dan Agenda Reformasi HAM

Tahun 2025 menjadi titik krusial dalam perjalanan hukum dan demokrasi Indonesia. Berbagai revisi undang-undang kontroversial, seperti UU TNI dan UU Pemilu, memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat. Sementara itu, agenda reformasi hak asasi manusia (HAM) menghadapi tantangan serius akibat meningkatnya represi terhadap kebebasan sipil. Artikel ini mengulas dinamika politik hukum Indonesia tahun 2025, dengan fokus pada revisi UU TNI dan implikasinya terhadap reformasi HAM.

Revisi UU TNI: Kembalinya Bayang-Bayang Dwifungsi

Pada 20 Maret 2025, DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), yang menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Salah satu pasal kontroversial adalah Pasal 47, yang memperluas jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif dari 10 menjadi 14 posisi. Posisi tersebut mencakup Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Nasional https://xicohmexicano.com/ Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung .​

Selain itu, Pasal 53 mengatur batas usia pensiun prajurit berdasarkan pangkat, dengan perwira tinggi bintang empat dapat diperpanjang hingga 63 tahun melalui keputusan presiden . Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya peran ganda militer dalam ranah sipil, mengingat sejarah kelam dwifungsi ABRI pada era Orde Baru.

Reaksi Masyarakat Sipil dan Protes Publik

Revisi UU TNI memicu gelombang protes dari masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi HAM. Lebih dari 26.000 orang menandatangani petisi online menolak revisi tersebut. Amnesty International Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyatakan bahwa revisi ini mengancam demokrasi dan dapat membuka jalan bagi pelanggaran HAM serta impunitas.

Proses pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara tertutup dan cepat, tanpa partisipasi publik yang memadai, juga mendapat sorotan tajam. Hal ini dianggap melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan .

Agenda Reformasi HAM: Antara Harapan dan Kenyataan

Di tengah kontroversi revisi UU TNI, agenda reformasi HAM di Indonesia menghadapi tantangan berat. Amnesty International melaporkan bahwa sepanjang tahun 2024, setidaknya 344 orang ditangkap saat melakukan protes, dengan 152 mengalami kekerasan fisik dan 17 terkena gas air mata. Selain itu, terdapat 123 kasus serangan fisik dan 288 ancaman digital terhadap jurnalis dan aktivis HAM.​

Pemerintah juga dikritik karena penggunaan spyware terhadap dissiden, meskipun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi telah disahkan pada Oktober sebelumnya. Namun, implementasi undang-undang tersebut masih belum optimal, termasuk pembentukan badan perlindungan data yang dijanjikan.

Upaya Pemerintah dan Tantangan ke Depan

Pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM, mengalokasikan anggaran sebesar Rp21,2 triliun untuk tahun 2025, dengan fokus pada penegakan hukum, pembentukan regulasi, pemajuan dan penegakan HAM, serta dukungan manajemen . Namun, efektivitas penggunaan anggaran ini masih menjadi pertanyaan, mengingat berbagai pelanggaran HAM yang terus terjadi.

Presiden Prabowo Subianto juga berencana memberikan grasi kepada tahanan di Papua, termasuk separatis, sebagai upaya menyelesaikan konflik di wilayah tersebut. Namun, langkah ini menuai pro dan kontra, terutama terkait dengan syarat yang harus dipenuhi oleh para tahanan.

BACA JUGA: Program Nasional ‘Satu Desa Satu Dokter’: 10.000 Tenaga Medis Dikirim ke Daerah 3T

Share: Facebook Twitter Linkedin